Metro12,Karimun: Meskipun Bangsa Indonesia dan hampir seluruh penjuru dunia dilanda virus Covid-19, dan puncaknya di tahun 2020.
Hal tersebut tak lantas membuat Pemerintahan Daerah Karimun tunduk pada intruksi Presiden serta Surat Kesepakatan Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan.
Intruksi Presiden Nomor 40 Tahun 2020 tentang penanggulangan, penanganan serta pencegahan Covid-19, mengintruksikan kepada seluruh jajaran kepala daerah, baik Kabupaten, Kota dan Provinsi agar membatasi seluruh akses keluar masuk penduduk dari dan dalam negeri, serta percepatan pembangunan.
Dan dalam kesepakatan bersama Mendagri dan Menkeu memerintahkan seluruh kepala daerah agar melaksanakan refocussing 50% mata anggaran yang dianggap tidak penting dan bersifat pemborosan pada belanja barang jasa serta belanja modal.
Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau tahun anggaran 2020 tentang kepatuhan atas penanganan pandemi Covid-19 tanggal 21 Desember 2020, ditcatatkan jika Pemda Karimun mengucurkan anggaran belanja barang dan jasa sebesar Rp 385.106.996.994,00- serta belanja modal Rp.275.893.793.820,00-.
Kedua mata anggaran tersebut bersumber dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, dan Dana Lakokasi khusus.
Kebijakan yang diambil oleh Pemda Karimun inipun dikritiki M Hafidz, Penggiat Anti Korupsi di kepri. Dirinya beranggapan jika Kepala Daerah serta tim anggaran di pemerintahan setempat tidak mendukung langkah Presiden dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi.
“Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/SJ_Nomor 177/KMK.07/2020 mengatakan jika dana daerah yang bersumber dari Pusat (DBH, DAK dan DAU) harus melakukan Refocussing mata anggaran minimal 50% pada belanja barang dan jasa serta belanja modal untuk percepatan pemulihan ekonomi, penanggulangan serta pencegahan penyebaran covid-19. Namun Intruksi dan SKB Dua menteri itu tidak dilaksanakan. Alhasil, ditahun 2020, banyak masyarakat yang ekonominya terpuruk,” terangnya disekitaran Batam Centre, Kamis (15/04/2021).
M Hafidz juga menyoroti belanja perjalanan Dinas pemkab karimun yang nilainya dianggap fantastis ditengah pandemi.
Diketahui dari LHP BPK RI, anggaran penanganan dan pencegahan Covid-19, Pemda Karimun hanya mengucurkan dana sebesar Rp 18.777.557.769,00- , sementara untuk SPPD Rp 85.550.432.634,00-
“Ada hal yang lebih gila lagi saya rasa, untuk perjalanan dinas luar dan dalam daerah Pemda Karimun menghabiskan anggaran hingga Rp 85,5 miliar lebih. Dalam arti kata, Pemda tidak melaksanakan 50% refocussing anggaran. Mirisnya lagi, ditahun itu sudah ada larangan perjalanan dinas bagi ASN luar daerah selain kepala daerah dan pimpinan dinas. Sementara, untuk penanganan Covid-19 hanya Rp 18,7 miliar lebih saja yang dikucurkan. Kebijakan yang aneh, dan perlu dilakukan pemeriksaan secara khusus oleh BPK-P, dengan tujuan tertentu guna mengusut SPPD itu, kan sudah jelas ada larangan perjalan dinas?, jika biaya perjalanan dinas tersebut dialokasikan untuk pemulihan ekonomi, Usaha kecil Menengah (UKM) tidak akan gulung tikar,” jabarnya.
Selain perjalan dinas, sejumlah mata anggaran dinilai tak etis dikucurkan disaat pandemi Covid-19. Seperti pakaian dinas dan atributnya serta pakaian hari tertentu senilai Rp 2.409.198.600,00-, makan minum rapat Rp 17.308.958.446,00-, sosialisasi, bimtek, dan pelatihan Rp 3.398.445.000,00- serta penggadaan kendaraan operasional sebesar Rp 4.725.700.000,00-
“Jika memang Pemda Karimun benar-benar peduli pada masyarakatnya, anggaran-anggaran yang tak pentig itu semestinya di refocussing minimal 50%, dan dialihkan untuk pemulihan ekonomi. Jika itu dilakukan, berapa ribu warga dan berapa ratus UMKM dan UKM yang terselamatkan?, dan DPRD Karimun juga kami anggap tidak berperan maksimal dalam memperjuangkan nasib rakyat pendukungnya. Gila, ini jelas gila,” pungkasnya.
Saat ditanya kepada M Hafidz, siapa pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas pelanggaran intruksi Presiden serta SKB dua Menteri tersebut, M Hafidz menjawabnya dengan lantang.
“Jika itu pertanyaannya, ya jelas Kepala Daerah, Banggar Keuangan Daerah, Ketua DPRD serta bendahara keuangan daerah. Mereka harus dimintai pertanggung jawaban, baik secara hukum, admnistrasi dan sosial,” tutupnya.
Hingga saat ini, tidak satupun pejabat daerah terkait yang memberikan tanggapan terkait LHP BPK RI Perwakilan Kepulauan Riau tersebut. (redaksi)